I LOVE YOU

JUDUL


www.adsensecamp.com

Jumat, 07 Oktober 2011

Resensi Novel "Malapetaka Akan Datang, As"



Judul                      : Menolak Panggilan Pulang
Penulis                   : Ngarto Februana
Penerbit                 : Media Pressindo
Cetakan                  : pertama, Juli 2000
Tebal                      : (xviii + 207) hlm
Harga                     : Rp 18.000 




DATANGNYA pemikiran baru maupun teknologi baru ke dalam suatu wilayah, diyakini akan memberi nilai lebih terhadap suatu kebudayaan. Tetapi jika tak ada persiapan mental dan intelektual di wilayah yang menerimanya, hal itu akan membawa disorientasi dan diskontinuitas kebudayaan bagi mereka yang posisi tawarnya lebih lemah. Tampaknya, inilah plot yang dipilih Ngarto Februana bagi novelnya yang berjudul Menolak Panggilan Pulang.
Novel ini bercerita tentang kisah manusia di Loksado, suatu wilayah yang dihuni oleh suku Dayak Meratus (ini meminjam istilah Anna Tsing). Letak arkaisnya masyarakat yang menghuni digambarkan dengan daerah pedalaman yang kurang bersentuhan dengan budaya luar, penduduknya masih memeluk autocthonous religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh.

Setting inilah, menurut budayawan Bakdi Sumanto dalam kata pengantarnya, yang kemudian menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak, berkembang secara dinamis dalam keseluruhan cerita. Bahkan dengan tidak sungkan Bakdi menilai karya Ngarto Februana sebagai karya yang kelak cukup menggetarkan. Karenanya, adalah haknya jika karya tersebut memperoleh kesempatan dipublikasikan dan ditanggapi (hal ii).
***
NOVEL dibuka dengan pemaparan mengenai sakitnya Utay, calon pengganti kepala suku, dan tatkala berhasil disembuhkan oleh penghulu toh penghulu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, As," seru sang penghulu kepada Asui, salah seorang penghuni balai (hal 10).
Lalu datanglah masa ketika Utay menerobos halangan kultural karena dialah satu-satunya anak suku bukit-begitu orang luar menyebut mereka- yang bersekolah sampai SMA (sekolah menengah atas). Dan dialah satu-satunya anak suku bukit yang bersekolah hingga setinggi itu; di kota lagi. Bagaimana sang ayah tidak bangga melihat calon penggantinya pintar di atas rata-rata, ditambah lagi pandangan masyarakatnya yang melihatnya bagai seorang titisan dewa (hal 65).
Namun, di sinilah justru masalahnya timbul. Utay mengalami cultural shock, guncangan budaya. Ia yang semula hidup di balai yang tidak mengenal pemisahan ruangan bagi keluarga-keluarga, kini menempati privacy-nya dengan kamar yang dihuninya sendiri.
Budaya luar yang diperoleh di kota membekali Utay untuk menafsirkan pandangannya maupun mengekspresikan naluri alamiah kemudaannya yang semakin menggelora, lepas dari kungkungan hukum adat dan moral religius tempat dari mana ia berasal. Ia mulai diganggu oleh dorongan dari dalam, berdekatan, berciuman, meremas-remas buah dada.
Demikian pula sewaktu ia diajari ayahnya mantra-mantra penolak bala sebagai persiapan menjadi kepala suku, Utay sering berkata, "Emm, maaf, ulun (saya) lupa," kalimat yang menandakan rasa tidak respek.
Pamali dan tabu pun dilanggarnya. Ia bawa budaya kota dengan memperlakukan Aruni (protagonis kedua), bunga desa dan dewi cahaya bagi masyarakatnya, calon pendampingnya kelak saat menduduki kepala suku, ke dalam asyik-masyuknya gairah dan hasrat seksual, dari berciuman hingga lanjutannya, di sela-sela pepohonan, di antara gemericiknya Sungai Amandit, wilayah bersemayamnya para dewa yang siap menjatuhkan kutukan.
Selanjutnya melalui sosok Utay dan Aruni, Ngarto melanjutkan jalinan dan perbenturan antara budaya luar dan budaya suku bukit tersebut. Di satu pihak Utay merepresentasikan budaya kota, dan akhirnya menjadi pegawai perusahaan perkayuan, dus wakil bagi kepentingan perusahaan HTI (hutan tanaman industri) yang siap merambah dan memperluas industri perkayuan modernnya dengan alat-alat canggih. Kalaupun ada keinginan memajukan kaumnya, ia selalu memakai bahasa-bahasa yang sarkastis, seperti "primitif", "terbelakang", "tidak bisa diajak maju," serta istilah yang tidak dimengerti mereka.
"Ini menguntungkan kita, Ayah" (hal 131), katanya ketika ia memperkenalkan kayu sengon sebagai upaya mengganti ladang berpindah yang telah ratusan tahun menjadi ciri kehidupan ekonomi, ekologi yang dibalut oleh kosmogoni dan mitologi suku Dayak. Lain halnya Aruni, ia merepresentasikan seorang pendidik yang sabar untuk mentransformasikan adat-istiadat setempat.
Simaklah kata-kata Aruni yang cerdas-bernas-patriotik, "Saya putri penghulu. Saya sudah bertekad untuk mengabdi kepada suku Bukit dengan kemampuan saya yang terbatas ini. Demi kesejahteraan suku Bukit." (hal 62).
Atau dengan ungkapannya, "Saya mengakui bahwa perubahan pola hidup menuju yang lebih baik tanpa meninggalkan kearifan itu perlu sekali. Sekali lagi, tanpa menghilangkan kearifan. Maaf, sejauh yang saya tahu, dari pengetahuan saya yang terbatas ini, masuknya industri perkayuan, perusahaan HPH, HTI, dan industri penambangan di beberapa wilayah Kalimantan ini telah menghilangkan kearifan adat. Juga terkikisnya tatanan kehidupan asli sebagai pedoman hidup sejak ratusan tahun yang lalu." (hal 137).
Aruni memang lebih bisa menyatu dengan lingkungannya, dan ia pun mendapat kehormatan yang tinggi sebagai calon balian, balian perempuan untuk pengobatan tradisional yang kelak akan bisa berhubungan dengan alam petilarahan, alam roh.
Namun, Aruni juga sering goyah pendirian karena penentangnya adalah juga kekasih hatinya, dan juga tertempelnya sifat sebagaimana layaknya perempuan (ini menginterpretasikan teks-nya Ngarto) yang cenderung lemah, pasrah dan tak sanggup memikul beban yang dirasa berat. Sementara sang belahan jiwa, Utay, karena gelegak darah mudanya, terus terhanyut dalam kepribadian terbelah hingga ia melakukan tindakan-tindakan konyol.
***
BAGAIMANA ending-nya? Malapetaka yang diramalkan sang penghulu pun datanglah, persis seperti dilihat lewat pancaran mata batinnya di saat menyembuhkan si kecil Utay, putra sang kepala suku, beberapa tahun silam. Ngarto, penulis novel ini, rupanya tak memberi apresiasi yang njlimet dan canggih pada dua protagonisnya. Ia biarkan dua tokohnya jatuh di jurang yang teramat dalam. Utay memperoleh julukan "pengkhianat suku", dan Aruni melanggar tabu dengan "kehamilan" di luar restu adat.
Kenapa Utay dan Aruni tidak disempurnakan jadi sosok yang mampu keluar dari jerat kesalahannya, yang nantinya menjadi sosok pemimpin baru hasil dialektika teks suci dan konteks yang melingkupi ekstensi batin mereka? Dan kenapa pula sukunya yang masih melihat sosok pemimpin sebagai "titisan dewa" bisa begitu mudah menghukum kesalahan Utay?
Atau jangan-jangan Ngarto melihat, suku pedalaman yang ia amati sewaktu dalam pengalamannya di Kuliah Kerja Nyata (KKN), hingga ia bisa menulis novel ini, berada dalam kekalahan yang terus-menerus dalam melawan tekanan pihak luar (baca: modernisasi) sehingga kegetiran mereka ini ia tumpahkan dalam balada kekalahan sang protagonisnya.
Namun, lepas dari semua itu, Indonesia yang multikompleks, apalagi setelah diperkenalkannya wacana pemberdayaan masyarakat begitu lepas dari tirani sentralitas Orde Baru, memerlukan kajian serius terhadap suara-suara kaum terpinggir bagi bekal proses pengambilan kebijakan negara. Minoritas suku terasing, perjuangan kaum perempuan, kaum miskin kota, minoritas agama maupun minoritas representasi ekonomi dan politik (dari pihak mayoritas) jelas menunggu pengkajian. Tinjauan dari sisi sastra pun tak kalah pentingnya.

Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar