I LOVE YOU

JUDUL


www.adsensecamp.com

Selasa, 04 Oktober 2011

Fanatisme

Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan (tergila-gila, keranjingan). Sepenggal perjalanan kisah hidup Chairil Anwar adalah salah satu contoh saja. Dia lebih berat membeli buku sastra daripada membeli makanan untuk bertahan hidup, atau obat untuk menyembuhkan penyakit raja singa yang dideritanya. Lihat pula penggemar fanatik grup band Slank yang rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Dipastikan, mereka wajib hadir jika grup pujaannya melakukan konser di daerah mereka.

      Setelah lama terbenam, kata fanatik mencuat kembali seiring dengan
meletusnya peristiwa Situbondo. Kata ini populer lagi setelah berbagai
analisa menyebutkan bahwa faktor fanatisme turut mendorong amuk massa
tersebut.
     Fanatik arti dasarnya adalah sangat menyukai. Jika kata fanatik
digabung dengan agama menjadi fanatik agama, maka artinya adalah menyukai
ajaran agama dan mengamalkannya dengan sepenuh hati. Dengan pengertian ini
maka sesungguhnya fanatik agama itu baik, bahkan sangat baik. Kaum muslimin
wajib fanatik kepada agamanya, Islam. Orang yang tidak fanatik agama justru
munafiq. Orang munafiq cenderung mencampuradukkan yang haq dengan yang
bathil. Orang semacam ini tidak punya pendirian yang teguh, tidak memiliki
prinsip, ke mana arh angin bertiup ke sanalah ia condong.
     Ummat Islam memang harus fanatik, dalam arti bahwa mereka harus cinta
kepada agamanya, bahkan harus berjuang untuk meninggikannya. sikap ini
merupakan prinsip yang tidak boleh ditawar oleh siapapun juga. kaum muslimin
harus bangga dengan Islam dan rela membelanya jika ada yang mencoba
mengganggu. Hanya orang yang lemah imannya yang mau menukar agamanya dengan
sesuap nasi atau sebungkus roti.
     Fanatik adalah berpegang teguh pada keyakinan, pada prinsip hidup.
Fanatik adalah aqidah, ikatan iman seseorang kepada Allah SWT. Karenanya,
tiada sedikitpun kejelekan di dalamnya. Adapun jika ada orang menganggap
jelek sikap fanatik, maka sesungguhnya mereka salah alamat. Yang jelek itu
adalah fanatik buta, yang dalam istilah lain disebut fanatisme.
     Antara fanatik dan fanatisme itu terbentang perbedaan yang jauh.
Fanatisme, sesuai dengan asal katanya, adalah tidak menyukai golongan lain,
bersungguh-sungguh membenci, dan berusaha sekuat daya untuk
menghancurkannya. Fanatisme ini biasanya dicuatkan dalam bentuk sikap
permusuhan yang mencolok sekali.
     Di Amerika Serikat ada kelompok Klu Klux Klan yang sangat rasialis.
Mereka tidak hanya menyintai kulit putih, tapi sangat benci kepada yang
lain, kulit hitam dan berwarna. Sikap fanatismenya diwujudkan dalam
perbuatan, yaitu mengganggu, mengusir, bahkan membunuh selain kulit putih.
     Jepang juga pernah terjebak pada sikap fanatik buta ini. Mereka
menganggap selain bangsa Jepang adalah budak, karenanya mereka perlakukan
orang lain semaunya. Muncullah tindak kejahatan dalam berbagai perang maupun
kepada rakyat pendudukan. Bahkan wanita-wanita lain dijadikan gundik, yang
terkenal dengan istilah 'ianfu'.
     Dala Dalam agama, fanatisme itu ditunjukkan oleh kaum Yahudi. Fanatisme
kaum Yahudi ini masih berlanjut hingga sekarang, apalagi setelah berdaulat
secara penuh di Israel. Mereka bukan saja mencintai agamanya, tapi sangat
membenci agama lain. Orang-orang yang tidak sepaham dengannya dianggap
musuh, dan diperlakukan semena-mena. Orang-orang Israel tidak pernah merasa
berdosa menembaki dan membunuh bangsa Palestina.
     Fanatisme Yahudi ini diungkap al-Qur'an dalam bentuk tantangan yang
sangat jantan. Allah berfirman:
"Katakanlah: 'Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu
mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan
manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu
orang-orang yang benar'. Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu
selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan
mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim." (QS.
Al-Jumu'ah: 6-7).
     Perang Salib yang berlangsung berabad-abad lamanya tidak lebih karena
disulut oleh fanatisme. Entah berapa kerugian moril dan materiil selama
perang berlangsung. Yang jelas luka itu sampai sekarang belum juga sembuh
secara total. Borok itu sewaktu-waktu masih bisa kambuh.
     Apa yang terjadi di Timor Timur beberapa saat yang lalu -meskipun
dibantah- sedikit banyak tersulut karena fanatisme ini. Dan terakhir, apa
yang kita saksikan di Situbondo, tidak luput dari unsur ini. Hanya saja
masalahnya menjadi sangat kompleks sebab banyak lagi unsur lain yang mungkin
lebih dominan.
     Peristiwa Situbondo lebih merupakan akumulasi dari berbagai persoalan
yang sudah menggumpal sekian lama. Bisa saja masalah agama menjadi
penyulutnya, tapi apalah artinya penyulut jika tidak ada sekama yang siap
mengobarkan api?.
     Jika disebut bahwa jumlah gereja lebih banyak dari yang seharusnya, itu
memang realitas. Jika ummat Kristiani lebih mapan sosial ekonominya, itu
memang betul. Jika kemudian kaum awam merasa kurang memperoleh keadilan,
bisa jadi itu menjadi awalnya. Jika kemudian meletus, itu memang bahaya
laten.
     Fanatisme ternyata bisa hinggap pada siapa saja, pada ummat agama apa
saja, dan pada bangsa mana saja, bahkan pada individu-individu tertentu.
Fanatisme kedaerahan bisa menyulut kerusuhan. Kebrutalan supporter sepak
bola -meski tidak semuanya- bermula dari sikap fanatisme.
     Sebagaimana bawaannya, fanatisme bisa membutakan pandangan dan pikiran
sehat, menggelapkan pertimbangan dan saran. Fanatisme menjadikan orang
bersikap eksklusif, mengungkung diri dalam benteng besar. Besar dalam
kandangnya sendiri dan selalu cemburu melihat orang lain atau sesuatu yang
lain. Fanatisme menggiring orang menjadi jumud, keras kepala, dan menolak
segala yang baru.
     Fanatisme tidak hanya berjangkit pada masyarakat yang mayoritas, tapi
bisa juga hinggap pada komunitas yang minoritas. Malah seringkali fanatisme
lebih mudah tumbuh pada komunitas yang relatif kecil. Karenanya tak perlu
khawatir terhadap kelompok besar, tapi jangan juga mencemburui kelompok
kecil. Biasa-biasa saja. Yang perlu dihindari justru perbuatan, sikap, gaya,
dan tampilan yang memancing kecemburuan. Hanya itu resep yang mujarab.

Membedah Fanatisme & Solusinya 

Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negeri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?

1. Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.

Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan "in group" dan "out group". Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda. Ketidaksukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).

Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.

3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Freud ketika ia menyebut instink Eros dan Tanatos.

4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal.

Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori , karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja. Muncul¬nya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa. boleh jadi;

(a)merupakan akibat logis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi,
 (b)merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.

Solusi Terhadap Perilaku Fanatisme

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan tertekan, terpojok dan terancam, maka pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam. Kasus kekerasan belakangan ini terjadi di ibukota harus dilihat dengan perspektif ini.

Fanatisme Beragama: Perlukah?

Sering kali, seseorang yang berusaha menjalankan ajaran agamanya dengan teguh, disebut fanatik. Ada anggapan umum bahwa fanatik dalam beragama adalah negatif. Sehingga tak jarang, sikap yang demikian itu mendatangkan celaan dan cemoohan.

Sebuah pengalaman yang kurang menyenangkan dialami Bobi. Suatu hari ia dan teman-teman lamanya berkumpul di sebuah restoran. Acara kumpul-kumpul ini selalu diadakan setiap tahun. Mereka menyebutnya ‘ReTa’ alias reuni tahunan. Di tengah-tengah mereka ngobrol, Bobi mohon izin ke belakang. Sepuluh menit kemudian, Bobi kembali pada teman-temannya.

“Kok lama Bob, ngapain aja?” tanya salah seorang temannya.

Sasa, temannya yang lain menyahut, “Belum tau ya? Dia sekarang kan fanatik gitu. Pasti abis shalat. Iya kan, Bob?” Bobi yang ditanya hanya tersenyum. Tanpa memberi kesempatan Bobi berbicara, Sasa langsung mengatakan, “Tuh kan, bener. Sekarang kita harus berhati-hati sama dia. Bisa-bisa kita nanti dibilang kafir, lagi..”

Apa yang terjadi pada Sasa dan Bobi di atas merupakan salah satu contoh bagaimana sikap dan perilaku keberagamaan seseorang bisa menyebabkan hubungan sosial yang kurang harmonis. Sebenarnya, apa yang dilakukan Bobi adalah sikap yang wajar bagi seorang Muslim. Tak ada yang salah pada perilaku Bobi. Ia menyadari bahwa shalat lima waktu wajib dilaksanakan. Maka, ketika waktu shalat menjelang, ia melaksanakannya. Lalu, mengapa muncul sikap negatif itu?

Stereotip dan Prasangka
Penilaian Sasa terhadap Bobi merupakan sebuah stereotip. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata ‘stereotip’ adalah “konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subyektif dan tidak tepat”.

Dalam pikiran Sasa, Bobi adalah seorang yang taat menjalankan shalat, berarti Bobi memegang ajaran Islam dengan kuat. Karena Islamnya kuat pasti Bobi suka mengafirkan orang lain. Oleh sebab itu Bobi adalah seorang yang berbahaya dan harus diwaspadai. Itulah yang dinamakan stereotip.

Prasangka negatif Sasa terhadap Bobi bisa jadi dipicu oleh pengalaman Sasa. Sebelumnya Sasa pernah mengetahui ada seseorang atau sekelompok orang yang suka mengafirkan orang lain. Dan diketahui kemudian oleh Sasa bahwa seseorang atau kelompok tadi sangat taat beribadah. Sehingga, ketika mengetahui Bobi juga taat beribadah [melaksanakan shalat], maka Sasa langsung menilai bahwa Bobi memunyai sifat dan perilaku yang sama dengan seseorang atau kelompok itu.

Pandangan Sasa tersebut oleh ahli psikologi dinilai wajar. Chris Feith, seorang profesor di bidang neuro-psikologi dalam bukunya, Making Up the Mind, mengatakan, stereotip itu berfungsi pada mekanisme survival untuk mengenali gejala awal adanya ancaman bahaya. Dalam mekanisme survival ini, stereotip dapat membantu untuk menghindari suatu bahaya. Ia juga menjelaskan, stereotip bisa berubah atau diperbarui jika ada informasi baru yang berbeda dengan prasangka awalnya.

Sebagai contoh, sebelum mengetahui bagaimana sebenarnya sifat iguana, kita pasti mengira bahwa binatang reptil tersebut ganas dan berbahaya. Dengan melihat bentuk kepalanya, duri-duri pada tubuhnya, dan kulitnya yang kasar, kita membayangkan agresivitas iguana seperti buaya atau komodo. Kita sudah memasang stereotip kita pada iguana, sehingga kita tak mau mendekatinya. Namun setelah kita coba berinteraksi dengannya, ternyata ia bisa menjadi binatang peliharaan yang lembut tingkah lakunya.

Kita bisa melihat juga stereotip masyarakat Amerika Serikat dan Eropa terhadap Islam. Setelah aksi-aksi terorisme terjadi, Islam dipandang sebagai agama yang jahat. Semua pemeluknya dianggap memunyai niat untuk menjadi teroris, sehingga perlu dicurigai dan diawasi. Namun, karena sikap Muslim, khususnya yang tinggal di Amerika Serikat dan Eropa, yang membuka diri dan menunjukkan sikap yang bersahabat, stereotip itu berubah. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sangat antusias belajar Islam, banyak juga yang menyatakan diri untuk memeluknya. Tak heran jika sekarang, pertumbuhan pemeluk Islam di Amerika Serikat dan Eropa berkembang pesat.

Meyakini atau Memercayai dengan Kuat
Selain stereotip, ada masalah lagi dalam kasus Sasa dan Bobi di atas, yaitu fanatisme. Apakah fanatisme itu selalu menimbulkan sikap yang negatif?

Sungguh mengherankan apabila seseorang memeluk suatu agama atau keyakinan tertentu, sementara dalam hatinya tak tumbuh kepercayaan yang kuat akan kebenarannya. Padahal, orang yang tak beragama [agnostic] atau seorang ateis sekalipun meyakini kebenaran pilihannya. Buktinya, mereka tetap konsisten dalam pilihan itu.

Meyakini kebenaran agama atau keyakinan yang dianutnya bisa menimbulkan semangat untuk berperilaku dan bertindak-tanduk sesuai dengan prinsip atau ajaran yang disampaikannya. Sikap yang demikian adalah baik, bahkan sangat dianjurkan dalam beragama. Jadi, sikap fanatik dalam beragama yang diartikan sebagai keyakinan yang kuat terhadap kebenaran suatu agama, menimbulkan perilaku yang positif dan sangat diperlukan dalam beragama.

Oleh sebab itu, di dalam setiap agama ada klaim kebenaran dan keselamatan [claim of truth and salvation] masing-masing. Klaim tersebut menuntut setiap pemeluknya untuk bersikap fanatik. Masyarakat Yahudi mengenal ungkapan the chosen people, masyarakat Yahudi adalah masyarakat pilihan yang paling dicintai Allah. Di agama Katholik memunyai doktrin extra ecclesiam nulla salus [di luar gereja tak ada keselamatan]. Hampir sama dengan Katholik, Protestan memunyai doktrin outside Christianity, no salvation [di luar Kristen tidak ada keselamatan]. Sedangkan dalam Islam, setiap Muslim percaya bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya.

Tak mungkin dihindari, sikap fanatik yang dianjurkan setiap agama, membawa konsekuensi adanya benturan dalam cara penyampaian dan cara mengajaknya. Selama tak ada unsur pemaksaan di dalamnya, tak menjadi masalah. Masalah muncul apabila sikap fanatik itu kemudian diikuti tindak kekerasan dan pelecehan terhadap agama atau keyakinan tertentu.

Dalam ajaran Islam, sikap memaksakan keyakinan itu dilarang. Memang benar bahwa setiap Muslim wajib meyakini kebenaran Islam dan percaya bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan berusaha menyampaikannya kepada orang lain. Namun, dalam konteks interaksi sosial, harus disadari bahwa ada orang lain yang menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah benar dan sempurna.

Perlu dipahami pula, meski Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam [rahmatan lil ‘alamîn], namun Nabi Muhammad Saw diutus tidak untuk memaksa. Beliau hanya sebagai penyampai saja. Masalah manusia, setelah disampaikan ajaran Islam, menjadi beriman atau menolaknya adalah sepenuhnya hak Allah swt. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” [QS al-Qashash [28]: 56].

Ayat di atas turun karena Allah swt ingin mengingatkan Nabi Muhammad Saw yang sedih karena orang-orang yang sangat dikasihi dan sangat dekat dengan beliau, tak mengikuti ajaran yang dibawanya. Allah swt menegaskan bahwa hidayah yang mengantar seseorang menerima dan melaksanakan tuntunan Allah bukanlah wewenang manusia, atau dalam batas kemampuannya, tetapi semata-mata wewenang dan hak prerogatif Allah swt.

Nabi Muhammad Saw mencontohkan bagaimana seharusnya seorang Muslim dalam menyampaikan Islam. Perilaku dakwah Nabi tersebut dilukiskan dalam al-Qur’an Surah Âli-’Imrân [3] ayat 159 yang artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan [itu]. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Demikianlah, apabila tak ada pemaksaan dalam berkeyakinan dan berlaku lemah lembut dalam menyampaikannya, niscaya tak ada stereotip dan prasangka negatif terhadap seorang Muslim yang fanatik. Sehingga setiap Muslim bisa menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan keyakinan dan kepercayaan yang teguh tanpa merasa kuatir lagi akan dicemooh dan dicela. « [imam]

Fanatisme dan Kekerasan Agama


Hampir setiap orang meyakini bahwa semua agama mengajak kepada kebaikan atau berbuat baik. Tapi mengapa sesuatu yang mengajak kita kepada kebaikan atau berbuat baik tidak boleh fanatik terhadapnya? Bukankah jika semua orang fanatik kepada yang mengajak kebaikan kehidupan kita akan menjadi tentram dan damai. Sepertinya fanatik terhadap seseorang lebih ditolerir di banding fanatik terhadap agama.

Sepertinya wajar jika seseorang beragama menganggap bahwa Agamanyalah yang paling benar, oleh karenanya ia memilih Agama tersebut. Tidakkah malah aneh jika seseorang menganggap semua agama adalah sama, lalu apakah ia akan memeluk semua agama itu ataukah malah menjadi Ateis, karena agama merupakan keyakinan yang paling kita yakini kebenarannya. Oleh karena itu wajar jika seseorang menganggap Agamanyalah yang paling benar sejauh ia tidak memaksakan agamanya kepada orang lain, karena memeluk agama bukan suatu keterpaksaan tapi kesadaran…


Fanatik sendiri berati kepercayaan atau keyakinan yang sangat kuat terhadap sesuatu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seharusnya fanatik ini hanya untuk sesuatu yang benar-benar kita tahu kebenarannya. Dapatkah kita bayangkan jika pejabat-pejabat pemerintah termasuk pemerintah fanatik pada agamanya (Islam), yang terjadi adalah mereka akan takut berbuat salah seperti korupsi dan lain-lain yang merugikan negara karena mereka sangat yakin akan balasan dari Tuhan. Jika seseorang fanatik terhadap sesuatu maka ia cenderung mengikuti dan menaati apa yang difanatikannya itu. Seorang yang fanatik terhadap agamanya (Islam), ia tak akan mau menerima uang sogok atau uang yang tidak jelas dan ia tiadak mau nenuruti pimpinan yang korup.

Sebenarnya Negara kita sangat membutuhkan orang yang sangat fanatik dengan benar kepada agamanya (terutama Islam) untuk menyembuhkan Negara ini dari penyakit korupsi.

Kebanyakan orang salah mengartikan fanatik dengan saklek/kaku dan pemahaman yang sepotong-sepotong.

Kebanyakan orang tidak mau fanatik dengan benar terhadap agama, karena ia tidak mau hidupnya dibatasi terhadap perbuatan-perbuatan yang meyimpang ia maunya setengah-setengah, hari ini berbuat salah besoknya bertaubat, hari ini korupsi besoknya beramal dengan dalih, “tidak ada manusia yang sempurna atau manusia adalah tempat salah dan dosa.†(oleh: iwan)

SEJATINYA semua agama mengharamkan kekerasan karena sejajar dengan tujuan ideal kemanusiaan yang menghendaki kedamaian. Budha mengajarkan kesederhanaan. Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih begitupun Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Lalu apakah kekerasan agama ini suatu potensi bawaan atau bukan?. Mengapa pula manusia beragama selalu muncul sifat destruktifnya dan menjadi begitu tak terkendalikan?. Mengapa agama yang mengusung nilai luhur itu, sebaliknya juga bertanggung jawab atas mengalirnya darah manusia di muka bumi?. Mengapa agama yang mengajarkan kasih-sayang, kedamaian dan kesentosaan kemudian kerap tampil dengan wajah ekstrimisme, radikalisme, bahkan terorisme?. Pertanyaan bertingkat ini tentunya bukan sekedar kumpulan pertanyaan yang cukup disimpan tanpa menaruh beban untuk segera dijawab.

Dalam konteks sekarang, bentuk-bentuk konflik dan kekerasan agama biasanya dihubungkan dengan bangkitnya sikap fanatisme agama. Fanatisme agama mengekspresikan cita-cita sosial-politiknya dalam bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal. Dalam Kamus Istilah Islam karangan Moh. E. Hasim (1987), fanatik didefinisikan sebagai kecintaan yang sangat kuat tetapi tidak berdasarkan ilmu pengetahuan mendalam dan akal sehat. Dalam konteks kenegaraan, fanatik berarti mencintai bangsa atau golongan secara berlebih-lebihan. Right or wrong is my country. Dalam kamus bahasa Arab al-Munjid (1975), fanatik (Arab: ta’ashshub) diartikan sebagai suatu sikap tidak menerima kebenaran yang berbeda walaupun kebenaran yang “dianggap†beda itu didasarkan atas dalil-dalil yang sama kuatnya.

Fanatisme identik dengan kekerasan. Inilah stereotip yang dibangun melalui opini Barat selama berabad-abad. Ironisnya, media Barat sering memberi kesan bahwa fanatisme keagamaan yang diwarnai sikap kekerasan hanya dimiliki pada sejarah Islam. Usaha media Barat, hingga hari ini, masih saja bernafsu menggiring opini dunia bahwa Islam ialah agama teroris dan menghalalkan kekerasan dalam misi penyebaran agama. “Islam Fundamentalis†yang mewakili sikap fanatisme keagamaan dianggap bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan global seperti tindakan kekerasan, teror bom bunuh diri, pembantaian bahkan pembunuhan. Peristiwa yang dianggap begitu menyudutkan Islam, ialah tragedi kemanusiaan WTC, Newyork, AS dan bom yang meledak di Legian Bali beberapa waktu setelahnya. Sampai-sampai polling di CNN, 13 Juni 2002, menunjukkan hasil yang mencengangkan. Suara terbanyak menginginkan perubahan paradigma dari war against terrorism menjadi war against Islamism.

Kesan menyudutkan umat Islam ini jelas salah besar. Sikap fanatisme hampir dimiliki semua agama. Karen Armstrong dalam bukunya “Islam a Short History†menunjukkan fanatisme adalah fakta global yang muncul pada semua kepercayaan, tidak hanya Islam, terlihat juga pada Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh dan bahkan Konfusianisme, sebagai tanggapan pada masalah-masalah modernisasi. Menurut Armstrong, sikap fanatisme agama tidak serta-merta muncul begitu saja sebagai respons spontan atas datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar jauh. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi yang mereka miliki dan memadukannya dengan budaya moderen, seperti dilakukan pembaharu muslim. Ketika cara-cara moderat dianggap tidak banyak membantu, beberapa orang menggunakan metode yang lebih ektrim dan saat itu pulalah gerakan fanatisme keagamaan lahir.

Fanatisme dengan demikian lahir dari ketidak-percayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ikhwal yang suci sebagai steril, tak pernah terkontaminasi, murni bahkan ajeg. Fanatisme adalah antipoda atas civil society karena menolak rasionalitas sebagai landasan kemajemukan ruang publik. Di sisi lain fanatisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-pol.

“Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah


Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti isu ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berpikir, hubungan sosial, dan sebagainya.

Kelompok fundamentalis Muslim bisanya selalu diidentikkan dengan kekerasan, anti-demokrasi, kebebasan sipil, sekularisme, pluralisme, dan lain-lain, serta dituduh menghambat perkembangan civil society dan civic culture. Namun klaim ini tidak selamanya akurat. Beberapa dekade ini ada perkembangan menarik mengenai fenomena fundamentalisme Islam di Arab dan Timur Tengah.

Beberapa faksi fundamentalis Muslim di kawasan ini tidak lagi alergi dengan wacana demokrasi, liberalisme, freedom, feminisme, dan berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan civil liberties dan human rights. Sebaliknya, mereka memperjuangkan ide-ide itu ke tataran praktis dengan cara-cara beradab, bukan melalui jalan kekerasan seperti kebanyakan kelompok ini lakukan. Bahkan mereka terang-terangan mengkritik kelompok fundamentalis yang masih menggunakan cara-cara kekerasan (pengrusakan, teror, dll) dalam menyampaikan masalah keumatan.

Inilah yang saya sebut sebagai “fundamentalis moderat” atau, meminjam istilah Nader Hashemi, “Islamis liberal”. Arus baru fundamentalisme Islam ini telah menarik perhatian beberapa sarjana kajian keislaman seperti Gudrun Kramer, Ahmad Mousalli, Carl Brown, Anthony Shadid, Augustus Richard Norton, dan belakangan Asef Bayat, direktur baru ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) di Leiden University.

Dalam buku terbarunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn, Asef Bayat memberi ulasan menarik mengenai fenomena ini. Dia mengatakan bahwa diskusi tentang “Islam sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi” sudah tidak relevan lagi, karena dunia Islam, khususnya Arab dan Timur Tengah, sedang “in the process of democracy.” Kesimpulan Bayat ini didasarkan pada hasil risetnya tentang “post-Islamist” Iran dan Hizb al-Wasath (Partai Tengah/Moderat) di Mesir, di mana menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan perjuangan politik yang dipelopori organisasi mahasiswa, kaum perempuan, akademisi, aktivis, dan bahkan kaum ulama, telah memberi kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi, pluralisme, dan liberalisme, serta mendorong pertumbuhan civil society di kedua negara itu.

Iran memang dikenal dunia internasional sebagai negara yang telah melahirkan tokoh-tokoh yang bersuara lantang tentang demokrasi dan kebebasan sipil, terutama sejak Imam Khomeini memberlakukan otoritas dan supremasi ulama di atas segela-galanya dan memberangus ekspresi civil liberties. Suara lantang itu tidak hanya muncul dari kelompok aktivis NGO dan kaum intelektual kampus saja tapi juga dari dalam mullah sendiri yang selama ini dikenal konservaif.

Di Mesir, perubahan fundamental juga terjadi di tubuh Hizb al-Wasath, sayap pecahan Ikhwanul Muslimin. Fenomena Hizb al-Wasath ini menarik karena seperti ditunjukkan dalam studi Bayat dan juga Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, kelompok/partai “Islam kanan” ini telah melakukan reformasi mendasar mengenai fondasi keagamaan kepartaian berupa, al, menerima non-Muslim (khususnya Kristen Koptik) dan kaum perempuan dalam struktur politik partai dan calon legislatif, serta bersedia bekerja sama dengan partai non-Islam.

Pemandangan ini tentu tidak umum buat partai Islam kanan yang selama ini dikenal memiliki visi keislaman ketat dan konservatif. Dengan perspektif baru kepartaian ini, Hizb al-Wasath menegaskan keberbedaannya dengan mainstream Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang dikenal konservatif dan tidak menghargai kebebasan sipil, anti-demokrasi dan pluralisme. Penegasan keberbedaan ini disampaikan oleh salah satu pendiri Hizb al-Wasath, Essam Sultan, yang mengatakan bahwa partainya berbeda secara fundamental dengan IM dalam hal “keimanan” pada pluralisme, demokrasi, kebebasan berpikir dan berkespresi, serta hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer.

Essam Sultan mengklaim bahwa IM, dengan pandangan-pandangan konservatifnya, telah mengisolasi diri dari komunitas luar non-IM, padahal menurutnya kelompok/grup di luar partai harus dijadikan sebagai bagian dari perubahan global. Renaissance bagi masa depan Mesir, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas yang lebih luas termasuk non-Muslim dan kaum perempuan yang selama ini selalu dalam “pojok” sejarah kepolitikan Islam (Shadid, 2002: 262). 

Arus baru “fundamentalis moderat” atau “Islamis liberal” ini tidak hanya terjadi di Mesir dan Iran saja tetapi di berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah lain seperti Arab Saudi, Yordania, Suriah, Tunisia, dan lainnya, seperti ditunjukkan studi Gudrun Kramer, senior research fellow di Stiftung Wissenschaft und Politik di Jerman, dan Ahmad Mousalli, profesor ilmu politik di American University di Beirut. Kedua sarjana ahli kajian Islam ini telah melakukan riset mengenai fenomena kelompok ini dengan mengkaji pemikiran para tokoh muslim “fundamentalis moderat” seperti Rashid Ghannushi (pendiri Hizb al-Nahda di Tunisia), Muhammad ‘Ammara, Muhammad Salim al-‘Awwa, Fahmi Hawaidi, Muhammad Hashim al-Hamidi, dan sebagainya.

Al-Hamidi misalnya menegaskan bahwa dunia Arab—dan Islam—harus dibangun berdasarkan sistem politik demokratis dan adil menyangkut partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung kemerdekaan berpikir, kebebasan sipil, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain, bahkan termasuk membolehkan kaum komunis untuk berpartisipasi dalam kepolitikan.

Dalam konteks pemikiran fundamentalis dan rezim Arab-Timur Tengah yang tradisionalis dan konservatif, wacana yang mereka dengungkan tentu sangat maju dan modern. Mengomentari fenomena perubahan ways of thinking dari kelompok “Islam kanan” ini, Mousalli (dalam Norton, Civil Society in the Middle East, 1995: 118) mengatakan bahwa “para pemikir fundamentalis moderat tentu bukan demokrat liberal Barat, tetapi mereka cukup moderat dan demokratis dalam konteks pemerintahan Arab dan Timur Tengah yang dikontrol para pemimpin nasionalis otoriter dan para raja tradisional yang despotik.” Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet juga menandaskan adanya samudra perubahan Islam politik dan “proses pendewasaan” berpikir kelompok “Islamis” menyangkut wacana civil society, negara/sistem pemerintahan, demokrasi, dan perjuangan tanpa kekerasan.

Tapi memang tidak semua sarjana dan pengamat berpendapat positif mengenai tren baru “fundamentalis moderat” ini. Ada juga yang berkomentar sumir dan skeptis. Mereka mempertanyakan apakah kaum “fundamentalis moderat” itu tulus dalam menyuarakan keyakinan prinsip-prinsip demokrasi atau hanya sekedar beretorika, sebagai taktik dan strategi untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik dalam pemilu, sebagai jalan menuju kekuasaan?

Dan memang, banyak bahwa moderatisme dan demokrasi yang mereka wacanakan hanya sebatas wacana dan tidak pernah menjadi kenyataan. Kasus Amir Arselan di Lebanon atau Hasan Turabi di Sudan adalah contoh nyata bagaimana masalah kebebasan sipil, pluralisme, dan demokrasi yang mereka kampanyekan hanyalah retorika belaka untuk meraup dukungan publik dalam pemilu. Setelah pemilu selesai, janji-janji manis pun selesai: mereka kembali pada “kodratnya” yang anti-demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil, yang menurut mereka tidak dikenal dalam syari’at Islam.

Tetapi harap juga dicatat bahwa keberhasilan kelompok Islam kanan dalam mengais dukungan rakyat di panggung politik juga tidak lepas dari kegagalan kelompok sekuler-nasionalis Arab dan Timur Tengah dalam menjalankan roda pemerintahan. Palestina dan Mesir adalah contoh terbaik. Pamor Hamas naik karena Fatah dijerat skandal korupsi di samping terlalu lembek dalam menjalankan negosiasi dengan Israel. Kelompok “Islam kanan” di Mesir yang cukup sukses mendulang suara dalam pemilu juga tidak lepas dari perilaku rezim nasionalis-sekuler Husni Mubarak yang otoriter, despotik, dan korup. 

Namun terlepas dari motivasi politik apa di balik munculnya kelompok “fundamentalis moderat” itu, pemikiran dan program-program mereka yang populis dan humanis sebagai “strategi berpolitik” menjadi menarik untuk disimak. Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti isu ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berpikir, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka tidak lagi menggunakan slogan-slogan retoris syari’at Islam tetapi lebih ke isu-isu menyangkut kebutuhan riil masyarakat (human needs) dan hak-hak dasar mereka (human rights) sebagai warga negara.

Karena itu, fenomena “fundamentalis moderat” di Timur Tengah ini saya amati agak bertolak belakang dengan kelompok fundamentalis Muslim dan partai-partai berbasis Islam di Indonesia. Tren kaum fundamentalis Islam di negeri ini masih belum berubah dari pola-pola lama. Mereka umumnya masih rajin berjualan syari’at Islam dan isu-isu yang berkaitan dengan “dunia lain.” Mereka bukan berlomba-lomba menciptakan program yang populis-humanis sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, tapi sebaliknya masih menggunakan cara-cara kuno dan menjual produk-produk Arab klasik lainnya seperti hukum potong tangan, memelihara jenggot, bercadar, dll.

Juga, tidak seperti fenomena baru kaum “fundamentalis moderat” di Timur Tengah yang menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan rakyat, kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.***

FANATISME ADALAH PEMBUNUH


Masyarakat indonesia diguncang antusiasme kedatangan tamu istimewa dari old trafford. namanya setan merah. bintang-bintang setan merah sudah lebih dulu menghiasi layar kaca melalui sponsor kartu GSM. mereka membawa pesan-pesan damai dalam tur asia. dari iklan tersebut juga terwakili bagaimana senangnya bintang-bintang setan merah berkunjung ke Indonesia tergambar dalam iklan menarik sang bintang yang belajar bahasa indonesia sambil tertawa menyenangkan. antusiasme disambut masyarakat indonesia yang berebut membeli tiket pertandingan persahabatan antara si setan merah dengan PSSI yang akan dijadwalkan tayang 20 juli 2009 dan panitia profesional yang mempersiapkan semua itu. ayah saya dan adik mendapat peluang untuk menonton pertandingan melalui tiket gratis yang diberikan kolega ayah. dan mereka akan menonton di kursi VVIP.

pagi itu, jumat 17 juli 2009 saya menyaksikan acara bincang-bincang singkat pak nigara, direktur pengembangan dan pembangunan gelora bung karno dimana dia adalah penyedia lapangan dengan supporter PSSI di salah satu stasiun tv swasta. dalam perbincangan tersebut beliau membicarakan kesiapan panitia dan beberapa pengalaman seputar MU, old trafford, hooligan yang anti jurnalisme sampai seputar tertibnya supporter liga inggris kala menyaksikan big match. dalam perbincangan tersebut, supporter indonesia berjanji akan menjaga pertandingan aman, tanpa rusuh-rusuh dan bakar-bakaran.

sungguh situasi yang bertolak belakang dengan niat tertib supporter indonesia, 17 juli 2009 pukul 07.50, terjadi ledakan yang kemudian diberitakan sebagai ledakan jenis high explosive di 2 hotel kenamaan indonesia, JW Marrot yang memang lebih dulu pernah terjadi hal yang sama dan Ritz Carlton, tempat bintang-bintang setan merah akan menginap. peritiwa tersebut mengakibatkan 9 korban tewas, 8 orang di tempat kejadian (6 di JW Marriot, 2 di Ritz Carlton) dan 1 orang di rumah sakit medistra setelah dirawat selama 50 menit serta 50 orang luka-luka.

jelas ini adalah terorisme. peristiwa ini telah membuat deretan panjang kejadian bom di berbagai tempat di tanah air. sebagian besarnya adalah BOM BUNUH DIRI! bom bunuh diri lahir dari kesediaan orang untuk mengorbankan dirinya. mengapa? karena prinsip dan pandangan orang tersebut. prinsip dan pandangan yang jelas-jelas merupakan sebuah kesalahan fatal. prinsip dan pandangan yang melebihi rasa kemanusiaan dan belas kasih. dan prinsip itu adalah fanatisme. lihat bagaiamana pada akhirnya fanatisme melahirkan banyak korban tak bersalah. jelas salah bahwa membunuh orang karena seorang tersebut adalah keturunan tertentu. karena pada dasarnya manusia tidak dapat memilih menjadi orang apa nantinya ketika ia dilahirkan. jadi, mengapa menurut pandangan dan prinsip fanatisme menjadi keturunan tertentu adalah sebuah kekejian sehingga harus dimusnahkan? opini ini terlahir atas dasar fakta bahwa sebagian besar bom yang terjadi di indonesia mengarahkan warga negara asing sebagai korban utama.

saya tidak habis pikir bagaimana para teroris bisa tidur dengan nyenyak ketika seorang ibu tua menangisi jenazah anaknya yang terbujur kaku dengan luka bakar. atau ketika seorang pemuda yang meronta-ronta kesakitan akibat luka serius yang dihadapinya. atau ketika seorang perempuan cantik yang harus menghabiskan masa hidupnya tanpa tangan. atau ketika seorang bapak-bapak paruh baya yang kehilangan pendengaran akibat gendang telinga yang pecah. bagaiamana mereka, para teroris, dapat makan enak sementara indonesia menjadi lautan darah manusia, dengan duka yang mendalam dan trauma yang mungkin takkan pernah terobati.

lihat bagaiamana akhirnya banyak negara yang memberikan sinyal waspada pada warga negaranya yang hendak ke indonesia disusul himbauan untuk tidak mengunjungi indonesia. lihat bagaimana pada akhirnya bintang-bintang setan merah membatalkan kunjungannya ke tanah air meskipun belum secara pasti dan meskipun pak agum gumelar harus terbang ke kuala lumpur untuk melobby pihak setan merah. jika ini tak berhasil, pihak penyelenggara akan menderita kerugian sebesar 50 miliar rupiah!

semua karena fanatisme mereka. yang jelas-jelas pembunuh nyawa manusia. pembunuh nama baik indonesia dengan menyumbangkan nama baru indonesia negara teroris. dan pada akhirnya bagaimana mereka akan berhadapan dengan Tuhan nantinya.

Fanatisme Merek Mobil Kini Sirna

Detroit - Tahun 1980-an, orang Amerika selalu fanatik terhadap satu merek mobil. Jika mereka punya mobil General Motors atau Toyota mereka akan tetap memakai merek mobil itu jika membeli yang baru.
Namun kini fanatisme itu mulai memudar. Dulu 4 dari 5 orang Amerika yang membeli mobil pasti akan memilih merek mobil yang sama dan tetap kukuh serta setia menggunakan merek tersebut.
Sekarang akibat seringnya pasar berubah selera, kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit sirna,
Hal tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian CNW Marketing Research yang
dilansir New York Times Kamis (29/10/2009), dimana menurut penelitian
tersebut, tahun ini hanya tinggal sekitar 20 persen saja yang membeli mobil baru dengan merek yang sama dengan mobil sebelumnya. "Sekarang jarang ditemui orang yang membeli merek yang sama selama 25 tahun lamanya. Benar-benar tidak ada kesetiaan merek lagi," kata Presiden CNW Art Spinella.

Contohnya adalah Chris Allen (24) warga Detroit. Garasi mobil keluarga Allen selalu dipenuhi oleh mobil-mobil keluaran GM seperti Saturn, Oldsmobile, Buick dan Chevy.

Namun begitu Allen pindah ke Los Angeles untuk bekerja di sebuah perusahaan riset, dia langsung ganti merek. Dia memilih Volkswagen GTI. "Jika GM membuat mobil yang saya inginkan pasti ada di daftar atas mobil yang akan saya beli," ujarnya.

Padahal lima tahun yang lalu mobil AS seperti Chevrolet dan Ford sama-sama duduk dengan nyaman di atas pasar Amerika Serikat, masing-masing dengan lebih dari 16 persen market pasar.

Tiga merek Chrysler yakni Chrysler, Dodge dan Jeep - pun juga meraih lebih dari 10 persen.

Namun saat ini Toyota-lah yang memimpin pasar dengan raihan sekitar 14 persen, diikuti oleh Ford, Chevrolet, Honda dan Nissan. Banyak merek Chrysler dan GM keluar dari Top 10 di pasar Amerika dan segera digantikan oleh dua merek dari Korea Selatan, Hyundai dan Kia.

Hal ini dikarenakan kemampuan setiap mobil sudah bisa dikatakan merata.
Karenanya kini para calon pembeli lebih mengandalkan selera mereka ketika
memilih sebuah mobil.

Pergeseran cara pandang seseorang dalam melihat sebuah mobil ini pun juga
berimplikasi besar pada cara beriklan pabrikan-pabrikan mobil tersebut. Karena saat ini orang lebih fokus ke value dibandingkan nama.

Karena itulah, tidak heran Hyundai mampu meraih hingga 4 persen pasar di
Amerika. Itu disebabkan bukan hanya karena produk Hyundai lebih murah daripada Toyota, tapi juga strategi inovatif yang dijalankannya.

Di Amerika, Hyundai menawarkan kemudahan untuk mengambil kembali mobil jika
pemilik kehilangan pekerjaan dan tidak mampu untuk melakukan pembayaran.

Begitu pula Ford, bila beberapa tahun lalu Ford selalu merangsang konsumen
dengan iklan yang mengingatkan konsumen akan kejayaan Ford di masa lalu. Kini
hal itu tidak dilakukan lagi.

Bahkan iklan untuk Fusion hanya disebutkan bahwa mobil ini hemat bahan dan sama sekali tidak menyebutkan nama Ford sampai akhir iklan.

Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar